Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Sidharto mengatakan, pihak Malaysia konsisten menggunakan "dua bahasa" dalam berkomunikasi dengan Indonesia sejak dua dekade silam
"Mereka kan menggunakan `dua bahasa` jika berkomunikasi dengan kita. Dengan sesama elit, mereka katakan, kita bangsa serumpun. Tetapi, ketika jika lawan bicaranya itu TKI atau TKW dan sejenisnya, Malaysia panggil kita `Indon`," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu malam.
"Tahu apa arti `Indon` bagi kalangan Malaysia ?," kata Sidharto mempertanyakan, yang kemudian dijawabnya sendiri, "Ini benar-benar menyakitkan, karena merendahkan martabat kita yang disebutnya sebagai `bangsa serumpun`. Karena `Indon` itu sama artinya dengan `jongos atau `budak (belian)," ungkap anggota Komisi I DPR RI ini.
Tentang hal ini, Sidharto yang juga mantan Wakil Ketua Komisi I DPR RI itu telah menyatakannya secara terbuka dalam rapat kerja bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Marty Natalegawa.
Mantan Wakil Ketua Komisi I DPR RI ini pernah mengatakan itu dalam sesi tanya jawab pada Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Marty Natalegawa, terkait `Insiden Bintan` yang oleh para anggota dewan dianggap hanya diselesaikan dengan `diplomasi barter`, Rabu (25/8) lalu.
Memang Terjadi `Barter`
Mengenai rapat dengan Menlu sebelumnya, Sidharto kembali mengatakan, pihaknya sepakat telah terjadi `diplomasi barter` dalam kasus penukaran pelepasan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dengan tujuh nelayan Malaysia yang datang melanggar wilayah kedaulatan maritim Indonesia untuk mencuri ikan.
"Apa lagi istilah tukar menukar yang pas. Kan barter ?. `Nda usahlah disebut `tukar guling`, seperti dibilang banyak pihak. Tetapi barter itu benar kok terjadi. Itu juga yang diakui pihak Malaysia kan," kata Sidharto menjelaskan.
Jadi, menurutnya, pihaknya di Komisi I DPR RI tidak setuju dengan penjelasan dengan menggunakan kata-kata diplomasi tinggi oleh Menlu, seolah tidak ada `barter` atau `tukar guling` di sini.
Selanjutnya, Sidharto juga mencoba menajamkan lagi beberapa masalah yang dipicu oleh sikap tidak bersahabatnya Malaysia terhadap Indonesia.
"Tegasnya, `ASEAN Solidarity` itu hanya di tataran elit. Jika ada maunya, kita dibilang Malaysia sebagai `bangsa serumpun`. Padahal realitasnya, orang kita disebut `Indon` yang identik dengan budak," ucapnya menandaskan.
Sidharto lalu menunjuk tindak pelecehan lain, yakni ada pelanggaran lintasbatas, kemudian pihak Malaysia menahan pejabat negara dalam `Insiden Bintan` (pelanggaran perairan RI oleh tujuh nelayan asing di dekat Pulau Bintan, dan penangkapan tiga petugas KKP).
"Keadaannya makin membakar emosi kita, jika kita membaca berita-berita penindasan TKW yang diperkosa dan lain-lain, lalu banyak yang bunuh diri terjun dari apartemen. Belum lagi aneka tindakan ilegal seperti hasil hutan, ikan dan barang tambang," ungkapnya.
Khusus menyangkut berbagai tindak `illegal` itu, Sidharto lalu mempertanyakan, "Kenapa Malaysia lebih banyak volume ekspor timah, karet, kayu dibandingkan produk ekspor kita ?."
Selain itu, lanjut dia, Malaysia juga itu gemar klaim budaya Indonesia. "Waspadai semua itu," tandasnya.
Makanya, Sidharto mengharapkan semua hal ini menjadi atensi serius serta diangkat sebagai fokus pembicaraan pada pertemuan delegasi RI-Malaysia, 6 September nanti.
"Mereka kan menggunakan `dua bahasa` jika berkomunikasi dengan kita. Dengan sesama elit, mereka katakan, kita bangsa serumpun. Tetapi, ketika jika lawan bicaranya itu TKI atau TKW dan sejenisnya, Malaysia panggil kita `Indon`," katanya kepada ANTARA di Jakarta, Sabtu malam.
"Tahu apa arti `Indon` bagi kalangan Malaysia ?," kata Sidharto mempertanyakan, yang kemudian dijawabnya sendiri, "Ini benar-benar menyakitkan, karena merendahkan martabat kita yang disebutnya sebagai `bangsa serumpun`. Karena `Indon` itu sama artinya dengan `jongos atau `budak (belian)," ungkap anggota Komisi I DPR RI ini.
Tentang hal ini, Sidharto yang juga mantan Wakil Ketua Komisi I DPR RI itu telah menyatakannya secara terbuka dalam rapat kerja bersama Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Marty Natalegawa.
Mantan Wakil Ketua Komisi I DPR RI ini pernah mengatakan itu dalam sesi tanya jawab pada Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Marty Natalegawa, terkait `Insiden Bintan` yang oleh para anggota dewan dianggap hanya diselesaikan dengan `diplomasi barter`, Rabu (25/8) lalu.
Memang Terjadi `Barter`
Mengenai rapat dengan Menlu sebelumnya, Sidharto kembali mengatakan, pihaknya sepakat telah terjadi `diplomasi barter` dalam kasus penukaran pelepasan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dengan tujuh nelayan Malaysia yang datang melanggar wilayah kedaulatan maritim Indonesia untuk mencuri ikan.
"Apa lagi istilah tukar menukar yang pas. Kan barter ?. `Nda usahlah disebut `tukar guling`, seperti dibilang banyak pihak. Tetapi barter itu benar kok terjadi. Itu juga yang diakui pihak Malaysia kan," kata Sidharto menjelaskan.
Jadi, menurutnya, pihaknya di Komisi I DPR RI tidak setuju dengan penjelasan dengan menggunakan kata-kata diplomasi tinggi oleh Menlu, seolah tidak ada `barter` atau `tukar guling` di sini.
Selanjutnya, Sidharto juga mencoba menajamkan lagi beberapa masalah yang dipicu oleh sikap tidak bersahabatnya Malaysia terhadap Indonesia.
"Tegasnya, `ASEAN Solidarity` itu hanya di tataran elit. Jika ada maunya, kita dibilang Malaysia sebagai `bangsa serumpun`. Padahal realitasnya, orang kita disebut `Indon` yang identik dengan budak," ucapnya menandaskan.
Sidharto lalu menunjuk tindak pelecehan lain, yakni ada pelanggaran lintasbatas, kemudian pihak Malaysia menahan pejabat negara dalam `Insiden Bintan` (pelanggaran perairan RI oleh tujuh nelayan asing di dekat Pulau Bintan, dan penangkapan tiga petugas KKP).
"Keadaannya makin membakar emosi kita, jika kita membaca berita-berita penindasan TKW yang diperkosa dan lain-lain, lalu banyak yang bunuh diri terjun dari apartemen. Belum lagi aneka tindakan ilegal seperti hasil hutan, ikan dan barang tambang," ungkapnya.
Khusus menyangkut berbagai tindak `illegal` itu, Sidharto lalu mempertanyakan, "Kenapa Malaysia lebih banyak volume ekspor timah, karet, kayu dibandingkan produk ekspor kita ?."
Selain itu, lanjut dia, Malaysia juga itu gemar klaim budaya Indonesia. "Waspadai semua itu," tandasnya.
Makanya, Sidharto mengharapkan semua hal ini menjadi atensi serius serta diangkat sebagai fokus pembicaraan pada pertemuan delegasi RI-Malaysia, 6 September nanti.
0 komentar:
Posting Komentar